-->

Privilege

Privilege

Mudah-mudahan tulisan kali ini gak panjang. Isi kepala dan hati saya rasanya mau tumpah. Dari siang tadi mengikuti bahasan di jagad twitter yang di amplify di FB. Asli emosional. Kebawa pertengkaran Netizen +62.

Rame bener. Netizen belah dua.

Ada yang berpendapat kalo sukses itu karena Privilege. Karena memang lahir dari lingkungan kaya, ya akhirnya kaya lagi. Dan yang lahir di keluarga miskin ya bakalan miskin lagi. Mungkin ada satu dua yang sukes, tapi statistik bicara lain.

Itu kelompok pertama, kelompok kedua beda lagi. Sukses itu karena usaha. Mau miskin atau kaya, kalo gak usaha, ya gak bakalan sukses. Ini tentang effort, tentang tekad. Jangan nyalahin keadaan kalo ente miskin. Sadis bener ini kelompok kedua.

Saya yang ngikutin bahasan itu, Jadi ikutin emosi. Kenapa? Karena Islam gak ngajarin pembelahan begitu. Islam punya pandangan yang bijak pada masalah kayak begini. Akhirnya kepancing deh nulis di FB. Bismillah ya.

Mentor yang ngajarin kami Islam di SMA, orangnya pinter banget. Engineer. Pengusaha. Dari kampus negeri beken di Jakarta. Beliau ngajarin hal sederhana,

"Islam itu wasath Rend. Kamu tahu wasit gak? Penengah, ya kita itu ummat pertengahan."

Saya langsung mudeng. Maka ajaran Islam itu pertengahan. Gak sayap kanan, gak sayap kiri. Gak kayak komunis yang gak mengakui hak privat, tapi juga gak kayak kapitalis yang melepas semua persaingan ke mekanisme pasar. Pertengahan.

Nah.. Saya masuk bahasan pada pembelahan yang terjadi ya.

Jika Anda di posisi memang "orang berada", gak ada salahnya empati. Sahabat Anda yang miskin memang gak bisa punya akses gizi kayak Anda, gak bisa punya akses pendidikan kayak Anda, gak bisa.

Maaf, alhamdulillah pernah jadi orang dekat crazy rich, sampe diajak ke luar negeri melihat pendidikan putra putri beliau. Ya memang beda. Beliau juga ngaku kok, ini privilege bagi anak saya. Emang niat sekali beliau, nyiapin hal terbaik baik putra putrinya. Keren.

SPP SMA internasionalnya aja 10juta lebih sebulan. Ha ha ha, waktu diluar negeri, apartemen siap, biaya kuliah pribadi ada, uang mah bukan uang bulanan, stay untuk tahunan itu Dollar. Gak pake acara nunggu beasiswa, walau akhirnya dapat. Ya memang beda.

Jadi kembali ke Anda yang alhamdulillah dapat support dari keluarga dalam meraih kehidupan mandiri bahkan berlimpah, jangan samain sama orang yang ekonominya dibawah Anda. Jangan sampe ngomong gini,

"ya ente miskin ya emang males aja, coba rajin kayak saya, kuliah, belajar, disiplin."

Hmm.. Jangan gitu. Karena kita gak tahu kondisi saudara kita yang lemah. Gimana keluarganya, gimana asupan gizinya. Anda ketemu daging sapi tiap hari, saudara Anda harus nunggu idul adha untuk ketemu daging. Beda.

Saya kembali ke lingkungan masa kecil saya. Beneran. Saya memang tinggal di pemukiman non komplek. Di gang biasa. Alhamdulillah ekonomi pertengahan. Dominan kelas bawah.

Alhamdulillah kami bisa kuliah. Crazy rich sih nggak. Cukup. Sederhana. Bisa menjalani kehidupan yang saya amat syukuri.

Saya melihat teman-teman seumuran saya di pemukiman. Hari ini. Saya berkunjung lagi. Melihat langsung.

Memang terjadi sih. Lingakarannya berulang. Perih. Kalo memang dari keluarga sulit, ya hampir semua berulang jadi orang sulit lagi. ngedekem di kampung, gak bisa ke jawa untuk kuliah, dan ini panjang rentetannya.

Memang benar komik dibawah ini, ada itu yang namanya privilage. Ini kata kamus Oxford :

Privilege a special right, advantage, or immunity granted or available only to a particular person or group.

Hak spesial, sebuah akses pada kebermanfaatan, sebuah kekebalan terhadap sesuatu, pada sebagian kecil orang yang khusus. Kurang lebih begitu ya. Saya gaak ahli juga.

Maka yang lahir dari Keluarga Kaya, ya memang beda lah. Papa Mama Anda educated, akses gizi lengkap, protein lengkap, otak Anda tumbuh maksimal di masa balita, bisa jadi keluarga harmonis, kasih sayang cukup.

Bedakan dengan yang tinggal di pemukiman kumuh. Ayah, Ibu dan 5 kakak beradik hanya punya ruang tamu dan 1 kamar tidur. Coba aja dibayangkan. Diam di rumah bisastress, akhirnya main di jalanan. Dah beda ini output karakternya. Berat.

Ya memang betul ada yang sukses diantara mereka. Lahir miskin lalu berhasil, ada memang. Tapi lihat lah statistik kebanyakan.

Moga ada yang berkenan ngepost hasil studi tentang privilage ya. Lupa mau print screen tadi. Penelitian, yang lahir dari keluarga kaya memang akan cenderung jadi lapis ekonomi menengah, dan yang miskin, miskin lagi.

Oke, berikutnya, untuk kita yang memang merasa tidak lahir di keluarga crazy rich, jangan kecil hati. Untuk kita yang mungkin hanya ijazah SMA, janganlah kecil harapan.

Kalo komik dibawah ini jadi pembenaran bahwa kita sudah pantas miskin lagi, maka itu SESAT banget. Kita berhak kok punya kehidupan yang lebih baik brosist, jangan kecil hati.

Bahasan tentang Privilege jangan jadi pembenaran kalo kita pantas jatuh dan jadi remah-remah, jangan.

Saya nemu tweet, mendalam banget,

"Gw ama elo start nya beda, gw kuliah beasiswa, hampir ngegelandang nyari kosan, gak ada duit buat tempat tinggal, gak ada duit untuk daftar ulang, nah elo tinggal masuk."

Yes brosist, memang startnya beda, crazy rich sudah di KM 76 menuju Bandung sementara brosist masih di cawang, macet, ngantri masuk TOL.

Ya udah. Tinggal gas lebih cepat aja. Sabar. Lagian apa kita harus kompetisi dengan yang sudah di KM 76? Kan yang penting ente nyampe Bandung. Ya kan?

Jujur saya mau nangis nulis ini. Ayolah. Jangan gitu-gitu amat percaya sama privilage. Bisa insyaAllah. Allah mah Maha Baik saudaraku. InsyaAllah ditolong.

Jadi intinya kita duduk ditengah lah. Privilege itu ada, yes. Tapi gak usah diimani terlalu dalam.

Jadi,

Sahabat yang memang sudah kaya dari sejak di adzanin sama Ayahnya, mesti empati sama sesama. Jangan apa-apa ngomong kerja keras, memvonis malas. Cleaning servis rajin kali, ente masih ngorok di kamar, mereka udah make up room. Jangan bicara kerja keras sama lapis bawah. Gak sopan.

Dan... Sahabat yang memang takdirnya lahir dalam situasi yang kurang mendukung, ya banyak bersyukur. Alhamdulillah, ada lasan untuk berjuang, ngehajiin orang tua, ngebeliin rumah untuk ortu yang lebih baik, jadi pejuang karena ditempa hal yang keras. Ya syukuri aja. Dan tetap injak gas sampe Bandung, walau kalah start.

Cukup untuk ngingetin Netizen, ijinkan Saya syiar tentang konsep Islam.

Setahun terakhir, Saya relatif mengubah sumber belajar saya secara fundamental. Saya kurangin baca buku menajemen barat, dan coba akses kitab klasik Islam abad awal-awal Islamic Revival.

Saya menemukan konsep pendekatan pemerintahan Islam dalam mengelola masyarakat. Terutama terkait privilege ini.

Mekanisme pasar dihargai. Jual beli ada. Hak privat dihargai. Bahwa akan ada yang miskin dan kaya itu natural saja. Makanya ada zakat.

Tapi dalam sebagian hal, Islam memberikan akses yang sama pada kebutuhan dasar masyarakat.

Zakat itu menjaga orang yang susah mencukupi kebutuhan dasarnya. Makanya ada dana zakat. Tarik paksa. Hukum awal zakat memang ditarik. Semua warga harus bisa makan, punya sandang dan papan.

Termasuk pendidikan dan kesehatan.

Asal konsep awal pendidikan itu ya gratis. Wakaf produktif membiayai operasional pendidikan. Membiaya operasional Kuttab dan Madrasah. Jadi setiap generasi Muslim gak ada cerita gak bisa sekolah. Model organisasi pendidikannya mapan. Sumber biayanya bukan SPP.

Ada sekolah yang bayar? Ada. Tapi kalo gak bisa bayar, anak-anak warga masih bisa sekolah. Setinggi mungkin, disupport, bahkan semua agama.

Hari ini harus diakui. Maaf ya, nyesek. Sekolah Islam yang bagus-bagus ya akhirnya mahal, lha siapa yang mau nopang operasinya kalo bukan uang gedung dan SPP?

Apalagi kampus negeri jadi BHMN. Badan Hukum Milik Negara. Itu kejadiannya di zaman saya itu. Inget banget ada yang demo di Gerbang Ganesha. Beneran. Keinget inget sampe sekarang.

Begitu kampus jadi BHMN, wassalam lah itu SPP kecil. Walau ada Bidik Misi, beasiswa ini itu, ya siapa sih yang bisa back up operasional ribuan mahasiswa. Beasiswa ada batasnya. Perih. Paska kampus jadi BHMN, kuliah ya jadi barang mahal hari ini.

Kesehatan juga sama, Bimaristan atau rumah sakit zaman pemerintahan Islam juga ditopang oleh wakaf produktif. Money flow bukan dari pasien, atau asuransi kolekan satu negara. Sorry ini ya.

Negara atau bahasa arabnya "Daulah" itu membangun mesin bisnis produktif yang kepemilikannya pada ummat. Namanya wakaf. Macem-macem modelnya, ada kebun, property, toko-toko yang disewakan, hasilnya untuk kesehatan. Dan juga pendidikan tadi itu.

Dengan konsep ini, Pendidikan bukan Privilage, Kesehatan bukan Privilege, itu HAK setia  warga yang dilindungi negara. Begitu.

Panjang tentang ini, nanti saya tulis khusus ya. Kalo ada luapan emosi lagi, saya tulis. Ha ha ha.

Di negeri gak usah ngomong pendidikan dan kesehatan sebagai basis kebutuhan hidup dasar. Makan aja rebutan. Beneran.

Alhamdulillah dua ratus ribu lebih kami telah membagi nasi box gratis. Dalam 30 pekan terakhir. Beneran. Kami ngelihat sendiri, itu yang namanya nasi box yang gak seberapa aja rebutan. Memang lapar.

Ini visi Berkah Box. Makan itu jangan jadi Privilage. Makan itu hak manusia lho. Kita ini kucing aja dikasih makan, kok tetangganya nggak?

Maka Berkah Box meletakkan nasi box di masjid-masjid. Setiap senin sd kamis. Sabtu ahad kami muter bagi ke yang lain.

Di senin dan kamis itu masjidnya tetap. Titik distribusinya tetap, karena memang ini visi Berkah Box.

"Kalo memang lapar, makan disini aja gak papa, setiap hari gak papa, pokoknya kalo laper dan gak ada makanan, ke masjid aja."

Lahir dari keluarga miskin ya gak papa, tenang aja, makan di masjid. Generasi anak-anaknya tetap dapat pasokan gizi.

Lahir di keluarga miskin ya nasib, oke lah. Tapi kalo mau sekolah ada Kuttab dan Madrasah gratis, bahkan sampai Jam'iyyah. Sampai pendidikan tinggi. Disupport free. Bukan student loan ya.

Lahir dari keluarga miskin gak papa, kalo sakit berobat di rumah sehat gratis, milik masjid, klinik wakaf masjid, para dokter dan perawat digaji oleh hasil wakaf produktif masjid. Bisa. InsyaAllah. Ada satu dua masjid yang udah nyoba. Cek Masjid Sunda Kelapa.

Nah, kalo pendidikan dan kesehatan sudah bisa diakses semuanya, Itu baru FAIR. Silakan anut faham kompetisi. Semua anak bangsa sudah punya bakalan yang relatif sama.

Yang Kaya udah kejawab bisa ngurus dirinya sendiri. Done.

Yang miskin diurus negara. Makannya, pendidikannya, kesehatannya, maka kalo masih ndablek juga, ya memang gak ada effort. Itu baru fair. Aksesnya terbuka untuk semua anak bangsa.

Sumber belajar Saya ya Kitab Islam klasik, itu juga yang dibaca oleh Tjokroaminoto, Agus Salim, dan para founding Fathers lainnya.

Maka lahirlah UUD pasal 33 itu. Itu amanat kemerdekaan. Dimana semua kekayaan negara digunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, ya maksudnya mesin produktif tadi, untuk back up lapis ekonomi bawah.

Maka mekanisme ini memaksa pemerataan. Outputnya nanti di zaman Umar ibn Abd Aziz, dimana semua warga gak mau nerima zakat. Itu bukan karena harta dibagi rata. Saldo dinarnya tetap variatif, ada yang tinggi, ada yang rendah, tetapi mereka hidup diatas garis kebutuhan dasar. Makanya gak ada yang mau terima zakat. Sampai akhirnya zakat dibawa ke Afrika, sebagian ada yang nerima. Itu juga dana zakat di amil masih sisa.

Hufftt... Emosi. Ha ha ha...

Udah yah... Ini otak sama jempol gak akan stop kalo nurutin jiwa. Udah kepanjangan. Nanti gak efektif. Jadi saya stop dulu.

Tulisan ini sekaligus menjawab komentar yang suka hadir di linimasa saya,

"Jangan bagi bagi nasi box doank kang, jangan dihabisin untuk ngasih makan aja, jangan kasih ikan terus, kasih kail donk, kasih skill, apa kek gitu, jualan online kek."

Hmm.. Megang gadget aja gak pernah, mau jualan online, gimana sih....

Ini orang laper, ini orang gak bisa makan, kok dikasih pelatihan?

Kasih makan dulu brosist... Kasih makan dulu..

Udah ah.. Manjang...

URS - Berkah Box Indonesia
Kalo mau donasi search di google ya.

Share:

Newest Post

Posting Lainnya:

Disqus Comments